Selama masa pemerintahan Presiden Donald Trump, hubungan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok memanas. Perang dagang yang ditandai dengan kenaikan tarif dan pembatasan terhadap perusahaan-perusahaan teknologi Tiongkok mendorong perusahaan-perusahaan China untuk mencari strategi alternatif. Salah satu strategi yang tidak terduga namun sangat efektif adalah penggunaan aplikasi media sosial TikTok sebagai alat melawan tekanan ekonomi tersebut.
TikTok, yang dimiliki oleh perusahaan Tiongkok ByteDance, awalnya dikenal sebagai platform hiburan bagi anak muda. Namun, di tengah ketegangan dagang, platform ini dimanfaatkan oleh berbagai perusahaan China sebagai jembatan langsung ke konsumen global, termasuk pasar Amerika. Dengan memanfaatkan algoritma canggih dan pendekatan personal lewat konten video singkat, perusahaan-perusahaan tersebut mampu memasarkan produk mereka secara efektif tanpa harus bergantung pada rantai pasok tradisional yang terdampak tarif tinggi.
Banyak merek China di sektor fashion, teknologi, dan kecantikan bekerja sama dengan kreator konten lokal untuk mempromosikan produk mereka secara halus. Strategi ini membuat produk China tetap diterima bahkan di tengah sentimen negatif yang berkembang akibat kebijakan dagang AS. Alih-alih melawan secara langsung di arena kebijakan, perusahaan China justru membangun pengaruh melalui budaya pop dan gaya hidup digital.
Pemerintahan Trump sendiri sempat mencoba melarang TikTok di AS dengan alasan keamanan nasional. Namun, upaya tersebut menuai perlawanan hukum dan gelombang kritik dari publik, terutama generasi muda yang merasa aplikasi itu adalah bagian dari keseharian mereka. Larangan tersebut akhirnya tidak sepenuhnya berhasil, dan TikTok tetap bertahan, bahkan terus tumbuh.
Secara tidak langsung, TikTok menjadi semacam senjata lunak dalam perang dagang. Ia bukan hanya alat hiburan, tetapi juga saluran distribusi global, medium komunikasi, dan platform branding yang kuat. Dalam era digital, perang dagang tidak lagi hanya berlangsung lewat angka ekspor-impor, tapi juga lewat konten, narasi, dan pengaruh budaya yang tersebar lewat layar smartphone.
Jika tren ini berlanjut, bisa jadi strategi "perang dagang digital" akan menjadi model baru dalam konflik ekonomi global ke depan—lebih halus, lebih sulit dideteksi, tapi sangat efektif.
TikTok, yang dimiliki oleh perusahaan Tiongkok ByteDance, awalnya dikenal sebagai platform hiburan bagi anak muda. Namun, di tengah ketegangan dagang, platform ini dimanfaatkan oleh berbagai perusahaan China sebagai jembatan langsung ke konsumen global, termasuk pasar Amerika. Dengan memanfaatkan algoritma canggih dan pendekatan personal lewat konten video singkat, perusahaan-perusahaan tersebut mampu memasarkan produk mereka secara efektif tanpa harus bergantung pada rantai pasok tradisional yang terdampak tarif tinggi.
Banyak merek China di sektor fashion, teknologi, dan kecantikan bekerja sama dengan kreator konten lokal untuk mempromosikan produk mereka secara halus. Strategi ini membuat produk China tetap diterima bahkan di tengah sentimen negatif yang berkembang akibat kebijakan dagang AS. Alih-alih melawan secara langsung di arena kebijakan, perusahaan China justru membangun pengaruh melalui budaya pop dan gaya hidup digital.
Pemerintahan Trump sendiri sempat mencoba melarang TikTok di AS dengan alasan keamanan nasional. Namun, upaya tersebut menuai perlawanan hukum dan gelombang kritik dari publik, terutama generasi muda yang merasa aplikasi itu adalah bagian dari keseharian mereka. Larangan tersebut akhirnya tidak sepenuhnya berhasil, dan TikTok tetap bertahan, bahkan terus tumbuh.
Secara tidak langsung, TikTok menjadi semacam senjata lunak dalam perang dagang. Ia bukan hanya alat hiburan, tetapi juga saluran distribusi global, medium komunikasi, dan platform branding yang kuat. Dalam era digital, perang dagang tidak lagi hanya berlangsung lewat angka ekspor-impor, tapi juga lewat konten, narasi, dan pengaruh budaya yang tersebar lewat layar smartphone.
Jika tren ini berlanjut, bisa jadi strategi "perang dagang digital" akan menjadi model baru dalam konflik ekonomi global ke depan—lebih halus, lebih sulit dideteksi, tapi sangat efektif.