Sebuah analisis teknologi pengenalan wajah yang dilakukan oleh Rismon Hasiholan Sianipar, seorang mantan dosen Universitas Mataram, kembali memicu kontroversi terkait keaslian ijazah mantan Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo (Jokowi), dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam unggahan di platform X pada 6 April 2025, Rismon membagikan hasil analisis yang menunjukkan bahwa foto pada ijazah Jokowi tidak cocok dengan foto-foto lain yang diklaim sebagai Jokowi pada masa muda.
Rismon menggunakan teknologi pengenalan wajah berbasis descriptor-based face matcher seperti SIFT (Scale-Invariant Feature Transform), ORB, FAST, AGAST, AKAZE, dan BRISK, serta metode deep face matcher dengan model canggih seperti VGG-Face, Facenet, Facenet512, ArcFace, dan SFace.
Desriptor based face matcher pakai SIFT, ORB, FAST, AGAST, AKAZE, BRISK.
— Rismon Hasiholan Sianipar (@SianiparRismon) April 6, 2025
Deep face mather pakai sejumlah model: VGG-Face, Facenet, Facenet512, ArcFace, dan SFace.
100%Sangat mirip (identik)
80%Mirip
50%Cukup mirip
<30%Tidak mirip / wajah berbeda pic.twitter.com/YHiaDVGzv3
Hasil analisis menunjukkan tingkat kemiripan wajah hanya 15,38%, yang menurut skala yang digunakan Rismon berarti wajah tersebut tidak mirip atau merupakan wajah yang berbeda. Skala yang ia gunakan menyebutkan bahwa tingkat kemiripan di bawah 30% menunjukkan wajah yang berbeda, sementara 100% berarti identik, 80% mirip, dan 50% cukup mirip.
Unggahan tersebut menjadi viral dan memicu berbagai reaksi dari pengguna X. Seorang pengguna,
@tatyaziz, mengapresiasi analisis tersebut dengan berkomentar, “Tak berkutik harusnya dia tu. Mantab abang ni...,” sementara @jeremaayy menantang pihak yang tidak setuju untuk memberikan argumen kuat, bahkan menandai akun lain untuk bergabung dalam diskusi. Pengguna lain,
@Black4715Id, menyebut perbedaan wajah sudah terlihat secara kasat mata, dan teknologi ini semakin memperkuat argumen tersebut.
Kontroversi ini bukan yang pertama kali muncul. Sebelumnya, Rismon juga mempertanyakan keaslian ijazah dan skripsi Jokowi dengan alasan penggunaan font Times New Roman pada lembar pengesahan skripsi, yang menurutnya belum umum digunakan pada era 1980-an hingga 1990-an. Pihak UGM, melalui Dekan Fakultas Kehutanan Sigit Sunarta, telah memberikan klarifikasi pada 21 Maret 2025, menyesalkan informasi yang dianggap menyesatkan tersebut. Sigit menjelaskan bahwa penomoran ijazah pada masa itu memang memiliki kebijakan sendiri di Fakultas Kehutanan dan tidak hanya berlaku untuk ijazah Jokowi, melainkan untuk semua lulusan pada periode tersebut.
Namun, analisis terbaru Rismon ini kembali memanaskan diskusi di media sosial. Beberapa pengguna, seperti @papazola2, bahkan menambahkan bahwa salah satu gambar yang dianalisis kemungkinan merupakan hasil modifikasi atau dihasilkan oleh komputer, sebagaimana ditunjukkan oleh analisis tambahan yang menyatakan “Looks Like Computer Generated or Modified Image.”
Sementara itu, @SotoAyam1970 mempertanyakan sikap UGM dengan berkomentar, “@UGMYogyakarta ga berani buat laporan? klo ga berani buat laporan berati ada yg disembunyikan. ditunggu laporan pihak @UGMYogyakarta.” Hingga berita ini ditulis, belum ada tanggapan resmi terbaru dari UGM terkait analisis pengenalan wajah ini.
Kasus ini terus menjadi sorotan publik, dengan banyak pihak menantikan klarifikasi lebih lanjut dari pihak-pihak terkait, termasuk UGM dan Jokowi sendiri, untuk menjawab keraguan yang terus bergulir di kalangan masyarakat. Teknologi pengenalan wajah, yang kini semakin canggih dengan akurasi hingga 99% menurut studi terbaru, tampaknya akan terus menjadi alat penting dalam mengungkap kebenaran di balik kontroversi semacam ini.