Cuaca dingin yang terjadi di tengah musim kemarau ini, baik saat hujan maupun tidak, dapat dikaitkan dengan fenomena yang dikenal sebagai bediding. Bediding, yang berasal dari bahasa Jawa 'bedhidhing', merujuk pada perubahan suhu yang signifikan, terutama pada awal musim kemarau. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memprediksi bahwa musim kemarau tahun 2024 telah dimulai sejak April, namun banyak masyarakat yang merasakan suhu yang tidak biasa dingin.
Fenomena ini ternyata dipengaruhi oleh beberapa faktor yang kompleks. Salah satunya adalah adanya Monsoon Dingin Australia, yang terjadi karena Australia sedang memasuki musim dingin pada bulan Juli. Tekanan udara yang tinggi di Australia menggerakkan massa udara dari sana ke wilayah Indonesia, termasuk perairan Samudera Indonesia yang memiliki suhu permukaan laut yang relatif lebih rendah. Akibatnya, suhu udara di wilayah-wilayah seperti Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, terutama di bagian selatan khatulistiwa, terasa lebih dingin.
Selain itu, fenomena bediding pada Juli 2024 juga dipengaruhi oleh kondisi langit yang cenderung bersih (clear sky). Hal ini mengakibatkan radiasi balik gelombang panjang langsung dilepaskan ke luar atmosfer, menyebabkan suhu di malam hari cenderung turun. Karena minimnya awan hujan, uap air dan air penyebab energi radiasi tidak tersimpan di atmosfer, yang membuat udara di dekat permukaan terasa lebih dingin, terutama dari malam hingga pagi hari.
Tidak hanya itu, fenomena bediding pada tahun ini juga mencatat beberapa kejadian luar biasa seperti embun upas di Dieng, Jawa Tengah. Di tempat ini, suhu yang turun mencapai nol derajat atau bahkan di bawah nol menyebabkan embun membeku menjadi es, menyerupai salju yang menutupi dedaunan dan rumput-rumput di area tersebut.
Secara keseluruhan, bediding merupakan fenomena alami yang menarik untuk dipelajari, yang tidak hanya mempengaruhi kondisi suhu di wilayah tropis seperti Indonesia, tetapi juga mengilhami penelitian lebih lanjut tentang dinamika atmosfer global.